Monday, October 14, 2013

[INDONESIAN FIC] MY FIRST PLEASURE (Kuroyume indies time - Shin x Kiyoharu)

Titled: My First Pleasure
Author: Ai Mori
Pair: Shin x Kiyoharu
Cast: the old Kuroyume
BGM: 1 album mayoeru yuritachi (^^)

Author notes: Ini fanfic pertama saya dengan konsep kumpulan drabble alias short story. Jadi cerita yang satu dan cerita selanjutnya sebenarnya bukan kelanjutan tapi beda cerita lagi cuma dengan pair n setting yang sama. yah,maaf aja lah kalo ternyata jadi rada2 aneh ('-')a
tapi bacanya jangan serius2 banget ya,karena ini benar2 cuma buat menghibur aja,hehehe (^^)v
please enjoy, please reviewnya juga jangan lupa

MY FIRST PLEASURE

Semua terjadi di tahun 1994

First Scene: Move Out

“Shin-kun, mulai sekarang aku akan tinggal disini bersamamu, jadi, yoroshiku onegaishimasu,” Kiyoharu membawa sebuah koper besar dan sebuah tas ke depan apartemen Shin.
“Heee?” Shin tampak kaget begitu melihat sosok Kiyoharu di depan pintu apartemennya.
“Kau sedang mencari roommate kan? Aku bersedia jadi roommate-mu,” Kiyoharu tersenyum.
“Iya sih, tapi.....,” Shin masih agak kaget melihat Kiyoharu yang muncul di depannya saat ini. Ia memang sedang mencari seorang roommate, tapi ia sama sekali tidak menyangka yang menyambut tawarannya justru Kiyoharu. Setahunya, Kiyoharu sudah punya apartemen sendiri. “Bukankah kau sudah tinggal di tempat lain?” tanya Shin.
“Aku diusir karena belum membayar sewanya,” jawab Kiyoharu tenang. “Jadi aku memutuskan untuk pindah kesini,” Ia kembali tersenyum.
Shin memegang kepalanya sendiri. “Kau itu selalu memutuskan sesuatu seenaknya. Aku sudah mempunyai orang yang berminat untuk tinggal disini,” Shin mengeluarkan secarik kertas dari saku bajunya.
“Ah!” Kiyoharu mengeluarkan sehelai kertas juga, “Itu aku. Aku memakai nama samaran untuk menipumu dan meneleponmu dari rumah orangtuaku,” Kiyoharu tertawa kecil lalu menunjukkan kertas itu pada Shin. Memang benar, nama dan nomor telepon yang tertera di kertas itu sama seperti yang ada di kertas yang disimpan Shin yang berisi nama dan nomor telepon dari orang yang menghubungi Shin dan berniat untuk menjadi roommatenya.
“Kau itu!!” Shin tampak gemas dengan ulah pria muda di depannya ini.
“Jadi, mulai sekarang kita akan tinggal bersama,” Kiyoharu segera membawa koper dan tasnya ke dalam apartemen Shin.
“Aku lebih memilih Hitoki yang tinggal disini,” gumam Shin.
“Hitoki sudah punya tempatnya sendiri,” Kiyoharu lalu menghampiri Shin, melingkarkan tangannya di leher Shin, “Lagipula disini kita bisa bebas melakukannya kapanpun,” Kiyoharu mencium bibir Shin dengan mesra, namun sesaat kemudian Shin segera melepas rangkulan Kiyoharu, “Baka!” Ia terlihat malu ketika seorang ibu dan anaknya yang masih kecil lewat di depan apartemen mereka dan melihat kelakuan Kiyoharu terhadapnya. Ibu tersebut segera menarik anaknya menjauh dari tempat Shin. Kiyoharu hanya tertawa, sementara Shin cepat-cepat menutup pintunya.
“Baiklah, baiklah, kau boleh tinggal disini,” Shin akhirnya mengalah. “Tapi jangan berbuat yang aneh-aneh,”
“Tenang saja,” Kiyoharu membawa kopernya menuju ke kamar kosong yang telah disediakan Shin untuk orang yang mau menjadi roommatenya. “Ah iya, tidak ada yang tahu aku pindah kesini lho,” ujar Kiyoharu dari dalam kamar.
“Kenapa?” tanya Shin.
“Nanti saja mereka kuberitahu,” jawab Kiyoharu.
Shin akhirnya membantu Kiyoharu membereskan barang-barangnya. Meskipun masih sedikit kesal karena Kiyoharu menipunya, tapi Shin juga merasa senang karena Kiyoharu bisa menemaninya disini. Kiyoharu sempat tersenyum ke arah Shin. Kali ini rencananya untuk bisa tinggal bersama Shin akhirnya berhasil. Sudah lama sekali ia ingin tinggal bersama Shin disini. Untung saja Shin sepertinya tidak mengetahui namanya yang asli, jadi ia bisa menipunya dan Shin sama sekali tidak curiga padanya. Sebenarnya ia tidak diusir dari apartemen lamanya, ia hanya ingin bisa tinggal berdekatan dengan Shin, tapi tentu saja tidak ada yang mengetahui hal itu. Dan hari-hari Shin tinggal bersama Kiyoharu pun dimulai.

############################
Second Scene: Homesickness

Musim dingin telah datang. Kuroyume sedang beristirahat sebentar dari jadwal manggung mereka yang biasanya padat. Tapi itu bukan berarti Kiyoharu dan Shin bisa bersantai-santai karena mereka masih sibuk menciptakan lagu-lagu baru untuk dimasukkan ke album mereka.
Kiyoharu hanya menatap ke luar jendela. Salju mulai turun menutupi jalanan di luar. Ia baru saja menyelesaikan sebuah lirik lagu dan Shin mengerjakan musiknya. Saat ini Shin sudah menyelesaikan komposisi musik untuk lagu baru mereka dan besok rencananya ia akan membawakan lagu ini saat latihan, karena ia masih membutuhkan bantuan Hitoki untuk menyelesaikan lagu baru ini.
Shin menatap ke arah Kiyoharu yang masih berada di dekat jendela. Memang menyenangkan bisa tinggal bersama dengan orang yang dicintainya itu. Tapi Kiyoharu seringkali menyembunyikan perasaan dan masalah yang sedang ia hadapi dari Shin. Shin tidak keberatan dengan hal itu tapi terkadang itu membuatnya jadi merasa tidak berguna bagi Kiyoharu.
Shin menaruh gitarnya dan mematikan amplifiernya. Kelihatannya ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran Kiyoharu. Shin perlahan menghampirinya dan merangkulnya dari belakang. Kiyoharu sedikit kaget tapi ia akhirnya tersenyum dan menyandarkan tubuhnya dalam rangkulan hangat Shin.
“Ada apa? Kau sedang ada masalah?” tanya Shin.
“Tidak juga. Aku sedang menikmati salju,” jawab Kiyoharu. Tapi ia kemudian terdiam sesaat. “Shin, kau tidak pernah pulang ke tempat orangtuamu lagi?”
“Belum. Aku masih terlalu sibuk, mungkin nanti saat ada waktu luang aku akan mengunjungi mereka,” jawab Shin. “Kenapa? Kau rindu dengan orangtuamu?”
Kiyoharu tidak menjawabnya. “Mungkin juga,” ungkapnya kemudian.
“Jadi kau sedang homesick?”
“Tapi aku tidak bisa kembali kesana sekarang,” jawab Kiyoharu pelan.
“Karena ayahmu?”
Kiyoharu menggelengkan kepalanya.
“Lalu kenapa?” tanya Shin heran.
“Sebenarnya........,”
Shin menunggu Kiyoharu melanjutkan kata-katanya.
“Sebenarnya sebelum kesini aku meminjam uang adikku tanpa sepengetahuannya, aku yakin dia pasti sedang marah sekarang,” jawab Kiyoharu.
“Hah? Hanya karena itu? Memang berapa banyak yang kau pinjam?”
“2000 yen,” Kiyoharu tersenyum, “Aku sedang memikirkan bagaimana reaksi dia sekarang. Pasti dia sedang mencarinya kemana-mana. Kalau dia tahu aku yang mengambilnya, dia pasti mengatakan kalau dia akan membunuhku.”
“Kau itu.....,” Shin hanya menghela nafasnya. “Aku pikir kau sedang menghadapi suatu masalah serius. Kenapa kau tidak langsung memberitahunya saja?”
Kiyoharu tertawa, “Tidak usah. Anggap saja ini balas dendam karena dia dulu sudah mengambil uang untuk membeli peralatan makeupku,” Kiyoharu kembali tersenyum. “Lagipula uangnya sudah kupakai untuk membeli kalung,”
“Kalau cuma itu alasannya, kau bisa pulang kapanpun kau mau kan?” ujar Shin.
“Tidak ah, aku masih ingin membiarkannya mencari-cari uang itu kemana-mana,” jawab Kiyoharu sambil tersenyum.
Shin kembali menghela nafas. Terkadang ia tidak mengerti kenapa ia bisa jatuh cinta dengan Kiyoharu.
Kiyoharu mendadak membalikkan badannya dan menghadap ke arah Shin yang masih merangkulnya. “Shin,”
“Ya?”
“Walaupun kita telah tinggal bersama, bukan berarti kau juga boleh mengambil barang-barang milikku begitu saja ya, kalau kau berani.....”
“Ya, ya, tenang saja, aku sudah punya alat makeup-ku sendiri,” Shin tersenyum, mengacak rambut Kiyoharu sesaat lalu melepaskan rangkulannya. “Kau mau kopi?”
“Boleh,” jawab Kiyoharu lalu menatap ke arah Shin yang sekarang sedang berjalan menuju ke dapur. Kiyoharu kembali tersenyum. Sebenarnya ia memang merindukan suasana rumahnya, tapi untuk kali ini, ia masih ingin bersama Shin disini.

#########################
Third Scene: Hangout

Hari ini Kuroyume baru saja menyelesaikan performnya dan sedang bersiap-siap karena mereka mendapat undangan untuk minum bersama dengan para member Luna Sea. Bertiga dengan Hitoki dan Shin, Kiyoharu segera menuju ke bar yang sudah ditentukan oleh manajemen mereka, tempat para member Luna Sea menunggu.
Ryuichi Kawamura menyambut mereka dengan ramah dan beberapa saat kemudian mereka sudah berhasil mencairkan suasana yang tadinya terkesan formal dengan berbicara tentang musik bersama dengan para member Luna Sea yang lain.
Shin menyalakan rokoknya dan menatap ke arah Kiyoharu yang sedang asyik berbicara dengan Sugizo.
“Jangan biarkan Kiyoharu minum banyak-banyak ya,” ujar Hitoki.
“Hah? Kenapa? Apa dia tidak kuat minum?” tanya Shin.
“Begitulah. Dia bisa jadi sangat tidak terkontrol bila sedang mabuk,” jelas Hitoki.
“Memangnya kau sudah pernah mengalaminya?” Shin jadi agak penasaran dengan perkataan Hitoki.
“Begitulah,” jawab Hitoki singkat.
Awalnya semuanya berlangsung baik-baik saja. Kiyoharu sendiri lebih memilih untuk menikmati cola daripada  bir yang disediakan disana. Namun semuanya berubah ketika Kiyoharu mengikuti permainan yang diadakan oleh Inoran dimana siapapun yang kalah dalam permainan kata-kata itu harus meminum sake. Awalnya ia masih bisa mengontrol dirinya. Tapi lama kelamaan, seiring dengan bertambahnya gelas yang ia minum, Kiyoharu mulai terlihat mabuk. Permainan itu pun dengan sendirinya terhenti karena mereka mulai sedikit mabuk.
Hitoki mulai menghela nafasnya, “Sepertinya dia sudah mulai mabuk. Lebih baik kita pergi duluan, sebelum dia mulai mengacaukan semuanya,” ujar Hitoki pada Shin.
“Memangnya kita boleh pergi duluan?” balas Shin.
Belum sempat Hitoki menjawab, tiba-tiba ia mengalihkan pandangannya ke arah Kiyoharu yang sekarang menghampiri Ryuichi.
“Ryuichi-san, kau sudah punya pacar?” tanya Kiyoharu.
“Eh? Hmm, ada sih orang yang sedang kusukai,” jawab Ryuichi, menyadari kalau Kiyoharu sepertinya mulai mabuk.
“Begitu ya? Kalau aku, aku sangat menyukai Shin. Kau tahu, aku menipunya waktu dia sedang mencari room-mate jadi aku bisa tinggal dengannya,” jawab Kiyoharu.
“Eh? Benarkah?” Ryuichi membalas perkataan Kiyoharu.
“Ya. Aku suka sekali menciumnya. Dia benar-benar sosok pacar yang menyenangkan,” Kiyoharu mulai meracau. “Kau tahu, aku sudah tidur dengannya........”
“Kiyoharu. Kau sudah mabuk,” Shin menarik Kiyoharu mendekatinya yang malah membuat Kiyoharu nyaris menciumnya.
“Maaf, Kiyoharu-san memang gampang sekali mabuk,” Hitoki terpaksa meminta maaf kepada para member Luna Sea yang untungnya segera memakluminya.
“Lain kali kita harus hangout bersama lagi. Aku senang bisa bertemu dengan kalian,” ujar Sugizo sebelum mereka berpisah.
“Tentu saja,” balas Hitoki.
“Maaf kalau kami menyusahkan kalian,” tambah Shin.
“Tidak apa-apa, santai saja,” para member Luna Sea itu pun berpisah dengan mereka bertiga di depan bar.
“Hey Hitoki, bagaimana hubunganmu dengan pacarmu?” tanya Kiyoharu tiba-tiba ketika Hitoki dan Shin mulai berjalan meninggalkan bar itu.
“Baik-baik saja,” jawab Hitoki singkat.
“Hah? Baik-baik saja? Kenapa baik-baik saja? Itu membosankan. Cobalah cari hal lain yang lebih menantang. Cari pacar yang lain saja,” Kiyoharu mulai melanjutkan kata-katanya.
“Bodoh. Jangan dengarkan dia ya, Hitoki-kun,” ujar Shin.
Hitoki tertawa, “Aku tahu,”
“Lalu kau sudah tidur dengan pacarmu?” Kiyoharu menatap wajah Hitoki dekat-dekat.
“Menurutmu?” balas Hitoki.
Kiyoharu justru tertawa. “Tapi aku lebih beruntung, kau tahu, aku sangaaat sangat mencintai Shin,”
“Ya aku tahu kok,” ujar Hitoki.
“Kau tahu, aku suka saat dia membuka bajuku. Dia itu pintar sekali. Aku sekarang sudah hapal dengan tubuhnya. Ah, dan piiiipnya....... ,” Shin langsung menutup mulut Kiyoharu dengan tangannya. “Ayo kita pulang,” ajak Shin.
Kiyoharu sempat mencoba melepaskan diri. “Aku tidak mau pulang,”
“Kau sudah mabuk. Ayo pulang,” ajak Shin lagi.
“Aku tidak mabuk, Shin-chan~,” Kiyoharu berhasil melepaskan dirinya namun jalannya sudah sempoyongan.
“Kau itu sudah mabuk,” tegas Shin.
“Tidak kok,” elak Kiyoharu. Ia mulai berjalan tak tentu arah dan terkadang sambil berputar-putar. Shin segera menangkapnya ketika ia nyaris saja tertabrak oleh pengendara motor yang lewat ketika Kiyoharu tiba-tiba masuk ke sebuah gang kecil.
“Aku akan segera panggilkan taksi untuk kalian. Kau harus segera membawanya pulang daripada dia berbuat yang aneh-aneh lagi,” ujar Hitoki.
“Ok. Dan Kau benar, bila sedang mabuk dia benar-benar tidak terkendali,” ujar Shin sambil memapah Kiyoharu.
Hitoki tersenyum. Ia lalu memanggil taksi untuk Shin dan Kiyoharu. Sepanjang perjalanan menuju ke apartemen mereka, Kiyoharu mulai tertidur. Shin terpaksa menggendong Kiyoharu menuju ke apartemen mereka sementara Hitoki meneruskan perjalanan pulangnya.
Malam mulai larut. Tidak banyak orang yang terjaga bila sudah jam segini. Suasana menuju ke kamar Shin mulai sepi. Sambil menggendong Kiyoharu yang sudah tertidur, Shin menaiki tangga menuju ke apartemennya.
“Shin-chan,” gumam Kiyoharu perlahan.
“Kau sudah bangun?” tanya Shin. Tapi Kiyoharu tidak memberikan jawaban lagi.
Shin terdiam. Kiyoharu sepertinya sudah kembali tertidur. Shin kemudian membaringkan Kiyoharu di atas tempat tidurnya ketika mereka sampai di dalam kamar.
“Mmmmmh,” Kiyoharu seperti akan terbangun.
Shin duduk di dekat Kiyoharu sambil menatap ke arah orang yang ia cintai itu. “Kau itu menyusahkan saja,” gumam Shin. Tapi Kiyoharu tidak terbangun. Shin kemudian menciumnya. “Aku mencintaimu. Oyasumi,”
Pagi harinya, Kiyoharu sama sekali tidak mengerti kenapa Shin tidak ingin membahas tentang kelanjutan acara minum-minum mereka bersama para personel Luna Sea. Shin hanya mengatakan bahwa Kiyoharu mabuk dan menolak mengatakan tentang apa yang terjadi setelah Kiyoharu mabuk.

#############################
Fourth Scene: One Day in Ordinary Life

Kiyoharu terbangun. Ia melihat Shin berada di dekatnya, memeluknya. Shin sepertinya masih tertidur. Mereka baru saja menyelesaikan konser mereka semalam dan pulang dini hari tadi.
Kiyoharu menatap ke arah Shin. Ia menyentuh wajahnya. Membelai lembut rambut orang yang sangat ia sayangi itu. Menyentuh dadanya yang bidang. Kemudian mencium bibirnya. Perlahan-lahan ia mulai merasakan bila Shin akhirnya bangun karena Shin mulai membalas ciuman hangatnya.
“Kiyo...,” Shin mulai membuka matanya.
“Ohayo,” sapa Kiyoharu dengan senyumannya.
“Kau sudah lebih baik? Semalam kau terlihat cukup lelah,” Shin menatap wajah Kiyoharu, memastikan bahwa ia benar-benar sudah pulih kembali dari rasa lelah yang menderanya semalam.
“Aku sudah lebih baik kok,” Kiyoharu kembali membiarkan tangannya menjelajahi bagian-bagian tubuh Shin dan mencium leher Shin. Ia juga mulai melepaskan celana piyama yang dikenakan Shin.
“Benarkah?” tanya Shin.
“Tentu saja,” jawab Kiyoharu sambil kembali tersenyum tanpa menghentikan gerakan tangannya. Ia juga melepaskan pakaian yang ia kenakan. Shin sempat tersenyum sesaat sebelum akhirnya ia mendorong tubuh Kiyoharu dan membuatnya terlentang di atas tempat tidur. Ia menggenggam kedua tangan Kiyoharu dan mencium bibirnya. Beberapa saat setelahnya yang terdengar hanyalah suara erangan dan desahan dari mereka berdua hingga akhirnya Shin kembali merebahkan dirinya di atas tempat tidur, menatap ke arah Kiyoharu yang tidur di sampingnya dan masih mengatur nafasnya. Shin merangkul tubuh Kiyoharu lalu mencium bibir Kiyoharu beberapa saat sebelum akhirnya ia duduk di atas tempat tidur.
“Kau mau pergi?” tanya Kiyoharu.
“Ya, aku harus pergi ke toko musik sebentar, aku sudah janji dengan pemilik tokonya,” jawab Shin.
“Tidak bisa ditunda?” tanya Kiyoharu lagi.
Shin tersenyum, “Memangnya kau masih mau lagi?”
Kiyoharu tersenyum menggoda, “Kalau kau mau,”
Shin tertawa, “Sayang sekali aku sudah ada janji,”
“Memangnya janjimu itu lebih penting? Daripada aku?” Kiyoharu masih mencoba menggoda Shin saat Shin bangun dari tempat tidur.
“Tentu saja,” Shin tersenyum kemudian menuju ke kamar mandi.
Kiyoharu hanya tersenyum. Ia lalu bangun dari tempat tidur kemudian mengenakan celana pendeknya dan segera menuju ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Selagi ia sedang menaruh makanannya dalam piring, Shin yang sudah selesai mandi dan bersiap-siap datang menghampirinya.
“Kau sudah mau pergi?” tanya Kiyoharu.
“Ya, aku janji akan segera kembali kok,” jawab Shin sambil merangkul Kiyoharu.
“Baiklah,” Kiyoharu menaruh piring yang ia bawa ke ruang makan. Setelah menikmati sarapannya berdua, Shin segera pergi meninggalkan Kiyoharu.
Kiyoharu segera membereskan piringnya. Selesai mencuci piring, ia berencana untuk bersiap pergi menuju ke pusat perbelanjaan untuk membeli baju dan keperluannya. Baru saja ia akan menuju ke kamar mandi ketika terdengar bunyi bel di pintu.
Kiyoharu segera membukanya, “Ya?”
Seorang gadis tampak muncul di depan pintu. Begitu melihat Kiyoharu yang hanya mengenakan celana pendeknya, gadis itu segera menundukkan kepalanya dan terlihat malu. “Ma... maaf, aku hanya ingin mengantarkan ini,” gadis itu segera berbalik badan dan meninggalkan Kiyoharu. Kiyoharu menerima surat yang diantarkan oleh gadis itu. Sepertinya sebuah surat tagihan. Kiyoharu hanya meletakkannya di atas meja beserta dengan surat-surat lainnya yang dikumpulkan oleh Shin. Ia menutup pintu kamar dan kembali menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, ia segera bersiap-siap untuk meninggalkan apartemen itu dan menuju ke pusat perbelanjaan.
Semuanya memang terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada yang berbeda dari hari ini, hanya saja Kiyoharu memutuskan untuk sedikit berdandan meskipun ia menutupi wajahnya dengan kacamata hitamnya dan syal karena udara yang mulai dingin. Ia akhirnya berhasil membeli baju yang ia inginkan dan juga segala keperluannya tanpa dikenali oleh fansnya.
Tapi begitu ia kembali, ia terpaksa memutar jalan karena sepertinya ada beberapa fans yang mengenalinya. Ia akhirnya memilih untuk melewati sebuah taman yang memang biasanya cukup sepi tapi agak jauh dari letak apartemennya. Kiyoharu menghela nafasnya. Sejak Kuroyume mulai terkenal, ia memang harus lebih berhati-hati terhadap para fansnya yang bisa saja melakukan berbagai macam hal padanya. Untungnya mereka tidak mengejar sampai ke tempat ini.
Kiyoharu melihat sebuah bangku kosong di sisi taman itu. Mungkin ada baiknya ia beristirahat sejenak di bangku itu. Kiyoharu akhirnya duduk disana, melepas lelah sejenak sebelum melanjutkan perjalanannya. Semoga saja Shin belum pulang karena ia ingin memberikan sesuatu untuk Shin. Kiyoharu melepas kacamata hitamnya dan memandang sekelilingnya. Taman ini memang cukup sepi. Mungkin lain kali ia harus mengajak Shin kesini.
Tiba-tiba seseorang menghampirinya dan menarik tangannya. Kiyoharu tersentak kaget dan otomatis menepis tangan orang itu tapi ia lebih kaget lagi karena orang yang menarik tangannya itu bukan fansnya seperti yang ia duga sebelumnya melainkan seorang nenek tua yang melihat ke arahnya.
Kiyoharu merasa sedikit tidak enak karena telah menepis tangan nenek tadi, “Maaf, apa ada yang bisa kubantu, nek?” tanya Kiyoharu dengan sopan.
“Aku pikir kau cucuku, ternyata bukan,” jawab nenek itu. “Aku sedang mencari jalan pulang,”
“Memang rumah nenek dimana?” tanya Kiyoharu lagi.
“Di dekat sini,” Nenek itu menunjuk ke salah satu bangunan yang terletak searah dengan apartemen tempat tinggal Kiyoharu.
“Kebetulan aku juga mau kesana. Kita pergi bersama saja ya nek,” ajak Kiyoharu.
“Baiklah,” Nenek itu menyetujui ajakan Kiyoharu.
Tapi begitu sampai di tempat yang ditunjuk oleh nenek tadi, nenek itu justru tidak mengenalinya.
“Hah? Jadi sebenarnya nenek tinggal dimana?” tanya Kiyoharu.
“Aku lupa,” jawab nenek tersebut.
Kiyoharu kembali menghela nafasnya. Cuaca di luar mulai dingin, Kiyoharu makin merasa tidak enak jika harus meninggalkan nenek tua ini di luar sendirian. “Bagaimana kalau untuk sementara nenek tinggal di tempatku saja? Mungkin cucu nenek tinggal di apartemen yang sama denganku,” tanya Kiyoharu. 
“Baiklah,” nenek tersebut dengan senang menyanggupi ajakan Kiyoharu. “Kau baik sekali, namamu siapa?” nenek tersebut menggandeng lengan Kiyoharu.
“Aku Mori Kiyoharu,” jawab Kiyoharu, masih berusaha untuk tersenyum. Entah kenapa, nenek ini membuatnya teringat dengan neneknya di Taijimi-shi, Gifu.
“Kiyomi? Namamu indah sekali, cocok untuk gadis sepertimu,” puji nenek itu.
“Eh? A... aku laki-laki, nek,” ujar Kiyoharu.
“Cucuku juga gadis yang manis sepertimu, mungkin kalian bisa berteman akrab,” nenek itu sepertinya mengacuhkan perkataan Kiyoharu barusan.
“Tapi aku laki-laki. Ini hanya makeup saja,” jelas Kiyoharu.
Sayangnya, nenek itu sepertinya kembali mengacuhkan perkataan Kiyoharu. Udara makin terasa dingin di luar dan sepertinya nenek itu mulai merasa kedinginan, jadi Kiyoharu cepat-cepat membawanya ke apartemennya dan menyiapkan minuman hangat untuknya. Sambil menemaninya mengobrol, Kiyoharu sedikit menanyakan soal cucunya dan sepertinya memang cucunya tinggal di dekat sini karena nenek itu menceritakan kalau cucunya tinggal di sebuah daerah apartemen yang banyak dihuni oleh para anak-anak band.
Tak lama kemudian, Shin akhirnya pulang. Ia kaget melihat Kiyoharu berada di ruang tamu bersama dengan seorang nenek tua. “Kiyoharu, kau mengajak nenekmu kesini?” tanya Shin heran.
“Bukan, aku bertemu nenek ini di jalan. Dia tidak tahu jalan pulang ke rumahnya, daripada dia menunggu di luar dan kedinginan, aku mengajaknya masuk sampai nanti ada yang mencarinya,” jelas Kiyoharu.
“Ah, apakah itu suamimu, Kiyomi-chan?” tanya nenek itu sambil melihat ke arah Shin.
“Eh? Bu.. bukan... dia...,” Kiyoharu agak bingung untuk menjawab pertanyaan nenek itu.
“Oh, jangan-jangan nenek ini yang sedang dicari oleh anak pemilik apartemen tadi ya,” tebak Shin sambil menjelaskan kalau tadi ia bertemu dengan anak pemilik apartemen yang sedang kebingungan mencari neneknya yang sampai sekarang belum pulang.
“Mungkin juga,” Kiyoharu kemudian beralih ke nenek itu lagi, “nek, cucumu sedang mencarimu. Ayo kita pergi menemuinya,” ajak Kiyoharu. Nenek itu tanpa pikir panjang menuruti perkataan Kiyoharu. Ia mengikuti Kiyoharu turun dan menemui anak pemilik apartemen yang dibicarakan oleh Shin. Benar saja, ternyata nenek ini adalah nenek dari anak pemilik apartemen itu. Anak itu adalah gadis yang tadi pagi mengantarkan surat dan bertemu dengan Kiyoharu. Dengan sedikit malu, gadis itu mengucapkan terima kasihnya pada Kiyoharu.
Shin hanya tersenyum saat mereka kembali ke kamarnya. “Ternyata kau mudah sekali akrab dengan nenek-nenek ya,”
“Aku sering tinggal dengan nenekku dulu,” jelas Kiyoharu. “Tapi nenek itu mengira aku itu seorang gadis,”
Shin tertawa, “Mungkin karena wajahmu lebih mirip dengan seorang gadis,”
“Jangan meledekku,” protes Kiyoharu.
Shin kembali tertawa, “Aku hanya menyatakan pendapatku,”
“Ah iya,” Kiyoharu mengambil sebuah pakaian dari kantong belanja yang tadi ia taruh di ruang tengah, “Aku membelikanmu pakaian baru untuk menggantikan bajumu yang waktu itu kotor karenaku,”
“Terima kasih,” Shin memegang pakaian yang dibelikan Kiyoharu itu. Sebuah setelan jas berwarna merah. Sepertinya akan bagus bila ia memakainya saat tampil live. “Kiyoharu,”
Kiyoharu yang sedang merapikan barang belanjaannya menoleh ke arah Shin, “Apa?”
“Menurutmu apa kita akan cocok menjadi suami istri?” tanya Shin tiba-tiba.
“Eh?” Kiyoharu tampak berpikir sebentar. “Ini pasti karena nenek tadi menyangka kau adalah suamiku ya?” tebak Kiyoharu.
“Katakan saja apa pendapatmu mengenai hal itu,” Shin meletakkan pakaian itu di atas sofa dan menghampiri Kiyoharu.
“Entahlah, memangnya kita terlihat seperti suami istri?” Kiyoharu balik bertanya. Kali ini sambil menghadap ke arah Shin.
“Menurutmu?” tanya Shin sambil tersenyum.
Kiyoharu juga tersenyum, “Hmmmm, mungkin saja. Tapi aku tidak mau menjadi istrimu,”
“Kenapa?” tanya Shin dengan sedikit heran.
“Karena aku masih ingin menikmati semua ini,” jawab Kiyoharu.
Shin tersenyum, “Jadi bukan karena kau tidak ingin berbagi denganku?”
“Tentu saja itu juga menjadi salah satu alasanku,” balas Kiyoharu sambil tertawa.
Shin hanya merangkul Kiyoharu sambil tetap tersenyum. Ya, baginya ini sudah merupakan kesenangan tersendiri bisa tinggal bersama dengan orang yang ia sayangi. Untuk saat ini kehadiran Kiyoharu di dekatnya setiap saat sudah lebih dari cukup.
#####################

OWARI

No comments:

Post a Comment